Tiga minggu sudah Hari
Raya Idul Fitri 1434H berlalu. Meski begitu suasana kemenangan itu masih terasa
sampai sekarang ini. Masyarakat Indonesia pun masih berhalal bi halal satu sama
lain untuk membersihkan diri dari segala dosa terhadap sesama dan kepada Allah
SWT. Sebagai kelanjutan dari Hari Raya Idul Fitri tersebut, masyarakat Indonesia
biasanya mengadakan acara berkumpul bersama di suatu tempat untuk saling bersilaturrahmi
dan maaf-memaafkan, biasa disebut acara halal bi halal. Tetapi benarkah dalam
acara halal bi halal itu terdapat esensi maaf-memaafkan yang sebenarnya? Mari terlebih
dahulu kita pahami pengertian dari halal bi halal.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) memberikan arti halal bi halal sebagai hal maaf-memaafkan
setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Merupakan suatu kebiasaan khas masyarakat Indonesia untuk
mengadakan acara halal bi halal di sebuah tempat (auditorium, aula, dan
sebagainya) oleh sekelompok orang. Berhalal
bi halal artinya bermaaf-maafan pada lebaran dengan segenap sanak keluarga dan handai tolan.
Agus Pahrudin dalam
tulisannya di lampost.com, menjelaskan secara rinci tentang halal bi halal.
Agus menerangkan bahwa tindakan maaf memaafkan yang dibagi menjadi tiga
tingkatan yaitu memaafkan kesalahan, menghabiskan
kesalahan, dan mengampuni kesalahan yang ketiga-tiganya dapat disimpulkan
sebagai mengikhlaskan satu sama lain. Saling mengikhlaskan atau saling
memaafkan disini juga mesti memperlihatkan muka yang jernih, bersalaman dan
memulai persahabatan dengan lembaran (suasana) baru, tidak mengingat-ingat
kembali kesalahan yang dilakukan terhadap kita, dan membalas kesalahan dengan
kebajikan.
Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa halal bi halal berarti saling memaafkan atau saling
mengikhlaskan kesalahan satu sama lain. Sebagai ungkapan dari kata maaf, saling
bersalaman pun mestinya dilakukan dengan orang yang kita mintai maaf. Kata
halal yang merupakan antonim dari haram, seperti yang kita ketahui artinya
adalah “diperbolehkan”. Sebagai contoh makanan yang halal adalah makanan yang
diperbolehkan untuk dimakan karena tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan
menurut ajaran islam. Demikian pula jika kata halal diinterpretasikan ke
tindakan maaf-memaafkan pada suasana Idul Fitri, maka yang semula dua orang yang
tidak bertegur sapa (sesuatu yang tidak diperbolehkan alias haram menurut
islam) sehingga di Hari Idul Fitri dua orang tersebut harus menghalalkan
kembali apa yang semula diharamkan dengan cara kembali bertegur sapa dan memulai
persahabatan yang baik.
Halal bi halal yang sudah dijelaskan di atas jika
dihubungkan dengan acara halal bi halal yang terdapat di Indonesia, nampaknya
masih jauh dari pengertian yang seharusnya. Menurut KBBI ternyata acara halal
bi halal merupakan tradisi khas bangsa Indonesia. Dengan kata lain acara halal
bi halal hanya terdapat di Indonesia dan negara-negara serumpun. Acara halal bi
halal di Indonesia yang sering kita jumpai, di daerah Sumbawa misalnya, memang
umum dilakukan dengan berkumpul di suatu tempat. Di sanalah orang-orang yang
berkumpul diberi ceramah singkat yang ada kaitannya dengan halal bi halal, ramadhan,
ataupun Idul Fitri. Di sana terdapat pula kegiatan pementasan berbagai kesenian
dari kerabat-kerabat. Di samping itu, panitia acara juga membagikan hadiah
kepada para pemenang berbagai lomba yang sudah dilaksanakan pada hari sebelum
acara halal bi halal. Lalu, dimanakah esensi maaf-memaafkan yang seharusnya ditemukan
di tradisi acara halal bi halal? Hanya orang-orang tertentu yang mengucapkan
kata-kata maaf seperti ketua panitia yang meminta maaf kepada tamu undangan
dalam sambutannya di acara itu, atau orang-orang penting yang berkesempatan
tampil di depan memberikan sambutan. Begitu acara selesai, biasanya para tamu
undangan langsung membubarkan diri tanpa harus bermaaf-maafan di antara mereka.
Apakah seperti itu halal bi halal yang benar? Sudahkah para tamu undangan saling
mengiklaskan? Ini jelas merupakan suatu kekeliruan dalam mengartikan kata halal.
Jika diperhatikan dengan seksama, tradisi halal bi halal
yang ada di Sumbawa sebetulnya lebih mengedepankan nilai seni dan kreatifitas
di depan panggung. Selebihnya perkataan maaf dari panitia dan orang-orang yang
berkesempatan tampil di depan panggung hanyalah pengantar ke sesi berikutnya
yang selalu dinantikan para tamu undangan, sesi hiburan. Begitu sesi hiburan
berakhir, maka berakhir pula acara halal bi halal itu dengan do’a di penghujung
acara. Sekali lagi, ini tradisi yang perlu diubah menjadi tradisi yang
benar-benar mencerminkan kata halal bi halal. Bukan berarti acara halal bi
halal yang dilaksanakan selama ini salah. Tetapi perlu diperbaiki lagi sehingga
tradisi acara halal bi halal dapat memberikan kesempatan kepada orang-orang
yang ada di dalamnya untuk saling bersalam-salaman dan memaafkan dengan hati
yang ikhlas. Dengan demikian, makna kata halal bi halal yang sesungguhnya dapat
terlihat dalam acara itu.
Meski belum mencerminkan makna kata halal bi halal dalam
tradisi acara halal bi halal yang ada, terdapa hal yang positif yang dapat
dikembangkan. Seperti kreatifitas remaja-remaja panitia dalam memberikan
hiburan kepada orang-orang yang datang pada acara itu. Untuk kepentingan
kesenian, semoga saja dengan adanya tradisi acara halal bi halal ini dapat memberikan
kesempatan kepada anak-anak muda dalam mengasah kreatifitasnya di bidang kesenian
seperti kesenian daerah, kasidah, dan drama. (HW_ Hendra Winata)
Sumber:
1.
Pahrudin,
A. 2013. Renungan Idul Fitri 1434 H:
Makna Halal Bihalal. Tersedia pada http://lampost.co/berita/renungan-idul-fitri-1434-h-makna-halal-bihalal. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2013
pukul 13.00 WITA.
2.
Setiawan,
E. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) versi online/daring. Tersedia pada http://kbbi.web.id/halalbihalal. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2013
pukul 11.30 WITA.
No comments:
Post a Comment