CERITA
INSPIRASI
Batu Emas
Beberapa minggu terakhir, cangkul, tanah dan karung adalah perkakas yang akrab dengan
keseharian masyarakat disini. Menjadi
penambang tradisional dengan tubuh penuh tanah dan pakaian kotor mungkin tak
pernah menjadi impian ku selama ini. Sejak menikah dan memiliki dua orang anak,
praktis seluruh tanggung jawab keluarga ada pada diriku selaku ayah.
Semua pemuda di desa ini telah
satu tahun menggantungkan hidup dari lubang ke lubang tambang emas tradisional
yang dibuat oleh pekerja kasar. Hanya baru beberapa minggu ini semua orang
menjadi akrab dengan peralatan tambang. Bukan hanya pemuda desa sekitar sini,
orang-orang yang tak pernah kukenal seumur hidupku pun
mulai sering lalu lalang di sekitar kampung.
Sebenarnya aku adalah satu dari
beberapa orang saja yang memulai tambang ini. Atau lebih tepatnya menemukan
tambang ini. Setelah satu tahun menambang emas, aku cukup bersyukur mampu
menghidupi keluarga di tengah kondisi hidup yang semakin sulit.
Awalnya orang-orang sekitar
menganggap kami gila, mengais tanah dari lubang-lubang sambil berharap
menemukan emas. Cara kerja kami sederhana, biasanya kami para pekerja tambang
tradisional bekerja secara kelompok. Dalam satu kelompok terdiri dari lima
hingga enam orang. Sebelum membuat lubang tambang dengan keahlian yang didapat
secara temurun, kami dapat mendeteksi titik mana yang memiliki kandungan emas.
“Bapak kenapa selalu membawa pulang karung berisi
tanah bu?” pernah kudengar putriku bertanya pada ibunya. Mungkin bingung
melihat tumpukan karung berisi tanah yang menggunung dibelakang rumah.
Dalam sehari, aku mampu membawa dua
belas karung tanah untuk dibawa pulang ke rumah dengan menyewa ojek. Aku harus membayar Rp 5.000 per karung. Artinya aku
harus mengeluarkan sedikitnya Rp. 60.000 untuk sewa ojek saja. Apakah semua
karung yang kubawa pulang selalu berisi emas? Sayangnya
lebih banyak tanah-tanah tersebut hanya menjadi lapisan pondasi didapur.
Meski mampu mengumpulkan tanah
mengandung emas pun, itu tidak berarti aku mampu menghasilkan uang banyak. Dua
beals karung tanah itu sudah hebat bisa mendapatkan dua gram emas murni. Ini karena masih melihat kadar
emas. Kalau kadarnya 20 persen, maka dihargai Rp 30.000. Paling tinggi 60
persen kadarnya di sini, dihargai Rp 200.000 oleh pengumpul emas. Itu pun
dengan proses waktu tidak kurang dari satu minggu.
Beda yang temanku Ahmad yang sudah
puluhan tahun menjadi penambang emas tradisional. Selama menambang, ia tidak
pernah masuk ke lubang yang sangat dalam. Sedangkan pemuda-pemuda disini mulai
nekat dan tampaknya akan membuat lubang hingga ratusan meter ke perut bumi.
Beberapa pekerja memang
ditugaskan mengumpulkan tanah dari pemuda-pemuda yang masuk ke lubang. Ada
kepercayaan disini bahwa pria yang masih perjaka atau belum menikah saja yang
boleh masuk ke perut bumi. Lokasi menambang kami luasnya tidak kurang dari tiga
hektar. Penduduk desa menyebut lokasi ini merupakan tambang emas sisa kolonialisme
Inggris dan Belanda. Ahmad adalah
generasi kelima yang menambang di lokasi ini dari kakek buyut nya, dan herannya
emasnya tidak habis-habis, walau memang hasilnya tidak banyak.
Aku menyadari bahwa aktivitas
tersebut penuh dengan risiko sakit hingga kematian akibat terpapar merkuri dan
limbah hasil pengolahan emas dan perak. Namun, demi bertahan hidup, risiko itu tidak kami hiraukan.
"Aku tidak masalah terkena
racun kimia, aku ketakukan jika tanah ini longsor dan menimbun kita
hidup-hidup.” Zakaria berkelakar ketika kami masuk beberapa meter kedalam
lubang.
Selama
menjadi penambang emas, aku menjadi saksi hidup penambang tewas karena terkubur
longsoran tanah dari lubang yang mereka buat sendiri. Ketika ada yang
meninggal, maka hanya bisa kami biarkan, jika kami membantu dan kemudian
mengganggu kestabilan tanah, maka sudah pasti kami akan ikut terkubur. Tapi yang menyedihkan selama ini adalah aku melihat
sendiri orang-orang lebih
memilih memunggut emas dari tangan mereka yang tewas daripada memunggut
jasadnya. Apa gunanya terkubur tanah emas?
Selain racun merkuri dan longsor,
ancaman lain yang kini siap kami hadapi adalah perusahaan tambang. Baru-baru
ini, perusahaan berskala internasional sedang membidik kawasan tersebut menjadi
wilayah konsesi pertambangan emas. Aku
hanya bisa pasrah dengan rencana itu. Kehidupan kami terancam suram. Rumah dan
mata pencaharian yang selama ini kami punya terancam hilang akibat konsensi
ini.
"Kalau perusahaan masuk,
kami gimana? Mau makan apa? Duh," keluh Ahmad, mendadak berhenti
memunguti tanah. Izin eksplorasi dan eksploitasi perusahaan tambang skala besar
itu telah mendapat restu dari pemerintah setempat.
Yang paling menyedihkan lagi adalah,
jika kami melihat ada potensi bongkahan emas, maka kami akan mulai
mengerjakannya, tak peduli hari mulai gelap, bahkan tak peduli jika azan
mengumandang. Seolah emas adalah Tuhan. Jika aku meminta ijin sholat maka
tatapan sinis yang aku dapatkan. “Siapa yang akan memikul batu-batu ini jika
kau sibuk naik turun untuk sholat?”
Semua orang berlomba-lomba mendapat
emas. Pasir emas, batu emas dan semua yang kemungkinan menghasilkan emas.
Ibu-ibu ikut membantu memilah tanah atau bongkahan yang akan disaring. Berharap
terdapat banyak emas yang akan mereka jadikan hiasan di jari tangan,
pergelangan tangan, kuping, kalung hingga pergelangan kaki.
Zul, Taufik adalah dua sahabatku
yang tertimbun tanah emas. Aku masih ingat jelas teriakan histeris istrinya
ketika kami memberi tahu kabar ini. Masih ingat jelas wajah polos kedua
anaknya. Nuni yang akan masuk sekolah dasar waktu itu, dan Joni, bayi laki-laki
yang selalu ditunggunya, yang diharapkan jadi polisi suatu saat nanti. “uang
menggali emas ini akan kukumpulkan untuk pesta pernikahan Nuni dan biaya
sekolah polisi untuk Joni” katanya ketika kami istirahat di kaki gunung.
Nasib keluarga Taufik lebih parah
lagi. Kami tidak bisa menemukan jasadnya yang mungkin terlempar jauh ke perut
bumi. Waktu itu aku meminta tolong Ahmad yang memberitahu istrinya. Aku tak
tahan mendengar tangisan janda-janda pencari emas. Anak-anak yatim korban
kilauan emas.
Kadang aku bertanya dalam doa dan khayalanku. Apakah gunung emas ini adalah
anugerah atau bencana? Jika perusahaan besar mengelola tempat ini suatu saat
nanti, bagaimana nasib anak-anak dan cucuku? Sering aku melihat di tv cara kerja
kantor-kantor besar menangani tanah emas, mereka akan mengali hingga perut
bumi, menghabiskan butir-butir emas lalu pergi meninggalkan lubang yang
mengangga lebar menghadap langit?
Tapi apa yang bisa aku perbuat? Aku
menghidupi keluargaku dari tanah-tanah emas yang tak tahu lagi sudah berapa banyak bercampur darah-darah manusia.
Apakah ini adalah kemauanku? Berapa lama lagi sebelum semua emas disini habis?
Apakah Tuhan akan menciptakan tanah-tanah bercampur emas lainnya? Aku tidak tahu. Aku hanyalah seorang
pencari emas.
No comments:
Post a Comment