Search This Blog

Friday, June 27, 2014

CERITA INSPIRASI



CERITA INSPIRASI
Batu Emas
Beberapa minggu terakhir, cangkul, tanah dan karung adalah perkakas yang akrab dengan keseharian masyarakat disini.  Menjadi penambang tradisional dengan tubuh penuh tanah dan pakaian kotor mungkin tak pernah menjadi impian ku selama ini. Sejak menikah dan memiliki dua orang anak, praktis seluruh tanggung jawab keluarga ada pada diriku selaku ayah.

Semua pemuda di desa ini telah satu tahun menggantungkan hidup dari lubang ke lubang tambang emas tradisional yang dibuat oleh pekerja kasar. Hanya baru beberapa minggu ini semua orang menjadi akrab dengan peralatan tambang. Bukan hanya pemuda desa sekitar sini, orang-orang yang tak pernah kukenal seumur hidupku pun mulai sering lalu lalang di sekitar kampung.
Sebenarnya aku adalah satu dari beberapa orang saja yang memulai tambang ini. Atau lebih tepatnya menemukan tambang ini. Setelah satu tahun menambang emas, aku cukup bersyukur mampu menghidupi keluarga di tengah kondisi hidup yang semakin sulit.
Awalnya orang-orang sekitar menganggap kami gila, mengais tanah dari lubang-lubang sambil berharap menemukan emas. Cara kerja kami sederhana, biasanya kami para pekerja tambang tradisional bekerja secara kelompok. Dalam satu kelompok terdiri dari lima hingga enam orang. Sebelum membuat lubang tambang dengan keahlian yang didapat secara temurun, kami dapat mendeteksi titik mana yang memiliki kandungan emas.
“Bapak kenapa selalu membawa pulang karung berisi tanah bu?” pernah kudengar putriku bertanya pada ibunya. Mungkin bingung melihat tumpukan karung berisi tanah yang menggunung dibelakang rumah.
Dalam sehari, aku mampu membawa dua belas karung tanah untuk dibawa pulang ke rumah dengan menyewa ojek. Aku harus  membayar Rp 5.000 per karung. Artinya aku harus mengeluarkan sedikitnya Rp. 60.000 untuk sewa ojek saja. Apakah semua karung yang kubawa pulang selalu berisi emas? Sayangnya lebih banyak tanah-tanah tersebut hanya menjadi lapisan pondasi didapur.
Meski mampu mengumpulkan tanah mengandung emas pun, itu tidak berarti aku mampu menghasilkan uang banyak. Dua beals karung tanah itu sudah hebat bisa mendapatkan dua gram emas murni. Ini karena masih melihat kadar emas. Kalau kadarnya 20 persen, maka dihargai Rp 30.000. Paling tinggi 60 persen kadarnya di sini, dihargai Rp 200.000 oleh pengumpul emas. Itu pun dengan proses waktu tidak kurang dari satu minggu.
Beda yang temanku Ahmad yang sudah puluhan tahun menjadi penambang emas tradisional. Selama menambang, ia tidak pernah masuk ke lubang yang sangat dalam. Sedangkan pemuda-pemuda disini mulai nekat dan tampaknya akan membuat lubang hingga ratusan meter ke perut bumi.
Beberapa pekerja memang ditugaskan mengumpulkan tanah dari pemuda-pemuda yang masuk ke lubang. Ada kepercayaan disini bahwa pria yang masih perjaka atau belum menikah saja yang boleh masuk ke perut bumi. Lokasi menambang kami luasnya tidak kurang dari tiga hektar. Penduduk desa menyebut lokasi ini merupakan tambang emas sisa kolonialisme Inggris dan Belanda. Ahmad  adalah generasi kelima yang menambang di lokasi ini dari kakek buyut nya, dan herannya emasnya tidak habis-habis, walau memang hasilnya tidak banyak.
Aku menyadari bahwa aktivitas tersebut penuh dengan risiko sakit hingga kematian akibat terpapar merkuri dan limbah hasil pengolahan emas dan perak. Namun, demi bertahan hidup, risiko itu tidak kami hiraukan.
"Aku tidak masalah terkena racun kimia, aku ketakukan jika tanah ini longsor dan menimbun kita hidup-hidup.” Zakaria berkelakar ketika kami masuk beberapa meter kedalam lubang.
            Selama menjadi penambang emas, aku menjadi saksi hidup penambang tewas karena terkubur longsoran tanah dari lubang yang mereka buat sendiri. Ketika ada yang meninggal, maka hanya bisa kami biarkan, jika kami membantu dan kemudian mengganggu kestabilan tanah, maka sudah pasti kami akan ikut terkubur. Tapi yang menyedihkan selama ini adalah aku melihat sendiri orang-orang lebih memilih memunggut emas dari tangan mereka yang tewas daripada memunggut jasadnya. Apa gunanya terkubur tanah emas?
Selain racun merkuri dan longsor, ancaman lain yang kini siap kami hadapi adalah perusahaan tambang. Baru-baru ini, perusahaan berskala internasional sedang membidik kawasan tersebut menjadi wilayah konsesi pertambangan emas.  Aku hanya bisa pasrah dengan rencana itu. Kehidupan kami terancam suram. Rumah dan mata pencaharian yang selama ini kami punya terancam hilang akibat konsensi ini.
"Kalau perusahaan masuk, kami gimana? Mau makan apa? Duh," keluh Ahmad, mendadak berhenti memunguti tanah. Izin eksplorasi dan eksploitasi perusahaan tambang skala besar itu telah mendapat restu dari pemerintah setempat.
            Yang paling menyedihkan lagi adalah, jika kami melihat ada potensi bongkahan emas, maka kami akan mulai mengerjakannya, tak peduli hari mulai gelap, bahkan tak peduli jika azan mengumandang. Seolah emas adalah Tuhan. Jika aku meminta ijin sholat maka tatapan sinis yang aku dapatkan. “Siapa yang akan memikul batu-batu ini jika kau sibuk naik turun untuk sholat?”
            Semua orang berlomba-lomba mendapat emas. Pasir emas, batu emas dan semua yang kemungkinan menghasilkan emas. Ibu-ibu ikut membantu memilah tanah atau bongkahan yang akan disaring. Berharap terdapat banyak emas yang akan mereka jadikan hiasan di jari tangan, pergelangan tangan, kuping, kalung hingga pergelangan kaki.
            Zul, Taufik adalah dua sahabatku yang tertimbun tanah emas. Aku masih ingat jelas teriakan histeris istrinya ketika kami memberi tahu kabar ini. Masih ingat jelas wajah polos kedua anaknya. Nuni yang akan masuk sekolah dasar waktu itu, dan Joni, bayi laki-laki yang selalu ditunggunya, yang diharapkan jadi polisi suatu saat nanti. “uang menggali emas ini akan kukumpulkan untuk pesta pernikahan Nuni dan biaya sekolah polisi untuk Joni” katanya ketika kami istirahat di kaki gunung.
            Nasib keluarga Taufik lebih parah lagi. Kami tidak bisa menemukan jasadnya yang mungkin terlempar jauh ke perut bumi. Waktu itu aku meminta tolong Ahmad yang memberitahu istrinya. Aku tak tahan mendengar tangisan janda-janda pencari emas. Anak-anak yatim korban kilauan emas.
            Kadang aku bertanya dalam doa dan khayalanku. Apakah gunung emas ini adalah anugerah atau bencana? Jika perusahaan besar mengelola tempat ini suatu saat nanti, bagaimana nasib anak-anak dan cucuku? Sering aku melihat di tv cara kerja kantor-kantor besar menangani tanah emas, mereka akan mengali hingga perut bumi, menghabiskan butir-butir emas lalu pergi meninggalkan lubang yang mengangga lebar menghadap langit?
            Tapi apa yang bisa aku perbuat? Aku menghidupi keluargaku dari tanah-tanah emas yang tak tahu lagi sudah berapa banyak bercampur darah-darah manusia. Apakah ini adalah kemauanku? Berapa lama lagi sebelum semua emas disini habis? Apakah Tuhan akan menciptakan tanah-tanah bercampur emas lainnya? Aku tidak tahu. Aku hanyalah seorang pencari emas.

No comments:

Post a Comment